Ende, Tananua Flores,- Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks dalam sistem pangan, yang mencegah masyarakat memperoleh pemenuhan hak atas pangannya secara menyeluruh.
Sistem pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi,
dan konsumsi didomina si oleh korporasi-korporasi besar yang mengakumulasi
keuntungan dan tidak mengentaskan permasalahan gizi serta kelaparan.
Hal ini juga dipengaruhi posisi Indonesia dalam sistem
pangan global dan perdagangan dunia yang dipaksakan melalui berbagai perjanjian
internasional, yang membuat Indonesia menjadi daerah pemasok bahan baku
industri seperti kelapa sawit, coklat, kopi, dan tanaman industri lainnya,
tetapi juga menjadi sasaran empuk baik ekspor maupun investasi dari
negara-negara industri.
Tercatat terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang
diikuti oleh Indonesia, yang berarti semakin banyak kebijakan nasional yang
harus disesuaikan dengan substansi perdagangan bebas, pro impor pangan, dan
semakin memberi ruang bagi korporasi untuk mengontrol pasar. Di sisi lain,
negara tidak memberikan perlindungan hukum yang berpihak pada produsen pangan
skala k ecil dan konsumen rentan.
Dari sisi produksi (Alat Produksi), perampasan tanah
dan konversi lahan terus dihadapi petani dan kelompok masyarakat adat yang
membuat mereka kehilangan kontrol serta akses terhadap sumber daya produktif
sekaligus sumber pangannya.
Perampasan dan penutupan akses dan kontrol bukan hanya untuk
kepentingan alihfungsi menjadi lahan perkebunan demi menyiapkan komoditas
ekspor, tetapi juga diperuntukkan dalam membangun proyek-proyek infrastruktur
raksasa, perluasan industri ekstraktif seperti pertambangan, dan pariwisata.
Dari sektor pangan laut, pembangunan proyek skala besar
seperti reklamasi pantai, pertambangan pasir, pertambangan nikel, dan
pertambangan migas terbukti kuat menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan
pulau-pulau kecil yang mengancam keberlanjutan pangan laut di Indonesia
sekaligus mengancam kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil
sebagai produsen utama pangan laut.
Ekosistem yang rusak telah menyebabkan berkurangnya hasil
tangkapan ikan dan terganggungnya perekonomian nelayan kecil. Hal ini
diperburuk dengan urusan birokrasi yang sulit terkait pengurusan izin usaha perikanan
dan pembudidayaan, serta aturan penggunaan alat tangkap yang banyak membatasi
nelayan kecil tetapi tidak menindak kapal-kapal besar yang menggunakan alat
tangkap yang lebih masif menjaring ikan.
Kebijakan reforma agraria di Indonesia telah diatur dengan
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, tetapi pengaturan agraria yang
berlaku dari era Orde Baru hingga saat ini belum merealisasikan reforma agraria
sesuai mandat pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960, tetapi pengaturan agraria
berorientasi pasar yang lebih menguntungkan pihak -pihak korporasi dan
investasi asing.
Masih dalam sisi produksi (Mode Produksi) ,
promosi dan penerapan pertanian monokultur industrial dengan input/sarana
produksi tani (saprotan) eksternal (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan
tanaman) yang diproduksi oleh agroindustri atau ilmuwan-ilmuwan dalam bidang
rekayasa genetika sejak Revolusi Hijau di era Orde Baru, telah membuat petani
berada dalam ketergantungan dan ancaman kerusakan lahan, sementara korporasi
agroindustri terus mendulang keuntungan.
Petani yang mencoba mengembangkan benih sendiri juga
terbentur urusan birokratif dalam perizinan serrtifikasi benih dan biaya
pendaftaran. Di sisi lain, subsidi pemerintah juga tidak menjadi jawaban karena
sering salah sasaran dan membuat petani harus mengakses saprotan komersil yang
mahal, mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang tidak sebanding dengan
pendapatan hasil penjualan panen, menimbulkan kerugian.
Banyak petani yang akhirnya tidak bertahan dan akhirnya
mengalihkan mata pencahariannya menjadi buruh upahan, baik sebagai buruh tani
atau buruh perkebunan bila mereka masih bertahan di pedesaan. Padahal,
pekerjaan sebagai buruh menjebak mereka dalam keterancaman yang lain:
lingkungan kerja yang berbahaya dan eksploitatif dengan pengupahan yang murah
untuk menekan biaya produksi perusahaan.
Berkenaan dengan krisis pangan yang diperingatkan oleh FAO
sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, pemerintah membangun
kawasan pertanian pangan secara luas (Food Estate) seperti tidak berkaca dari
kegagalan Food Estate di era kepemimpi nan Susilo Bambang Yudhoyono
(2009-2014). Food Estate menerapkan pertanian monokultur dengan model kimiawi
dan memberi peran luas kepada korporasi dari hulu ke hilir yang tetap menaruh
petani hanya sebagai penyumbang tenaga kerja dan meminggirkan cara produksi
pangan yang lebih sesuai dengan kebudayaan lokal dan adat setempat.
Kedua hal—perampasan tanah dan pertanian
industrial—diperburuk dengan liberalisasi investasi untuk menciptakan pasar
tanah melalui pembentukan bank tanah dan liberalisasi pasar yang menyebabkan
impor pangan dan impor benih menjadi semakin masif melalui pasal-pasal dalam
Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Impor pangan menyebabkan petani dan nelayan harus bersaing
dengan produk pangan dari luar dan menjatuhkan harga jual hasil panen mereka.
Sementara untuk impor benih, terdapat ancaman bahwa (1) petani akan dipaksa
bergantung pada benih yang dimonopoli oleh segelintir korporasi multinasional
di dunia, (2) terjadi paten dan komodifikasi benih melalui berbagai kebijakan
global, (3) kriminalisasi petani benih karena dianggap sebagai produsen
illegal, dan (4) preferensi pada varietas benih modern (hibrida, GMO,
biofortifikasi) yang dianggap lebih unggul daripada benih lokal.
Dari sisi distribusi, produsen pangan skala kecil juga
menghadapi panjangnya rantai yang dipermainkan tengkulak dan mafia pangan,
serta monopoli pasar yang dikuasai oleh korporasi. Ini menimbulkan harga jual
panen petani atau produsen pangan skala kecil lainnya rentan dipermainkan dan
tidak menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan.
Semakin tidak menjanjikannya keuntungan dari hasil bertani
ataupun melaut, ditamba h perampasan lahan dan juga relasi tenurial yang
timpang antara petani penggarap dengan tuan tanah yang tidak diatur dengan baik
dan memiliki sistem peradilan yang adil oleh negara, membuat produsen pangan
skala kecil bermigrasi ke kota atau beralih kerja menjadi buruh atau tenaga
kerja upahan yang menerima upah atau gaji yang murah, selanjutnya mengancam
mereka dalam kemiskinan.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa jumlah petani gurem
yang terus meningkat selama satu dasawarsa terakhir (sementara penguasa lahan
di atas 10 . 000 hektar tidak mencapai 1% dalam statistik penguasaan lahan)7%,
menurunnya jumlah penduduk di pedesaan 8%, serta menurunnya jumlah nelayan 9%
di Indonesia.
Selain itu karena pengaturan agraria di sisi alat
produksi—yang gagal menanggulangi atau malah menyebabkan—ketimpangan
kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria dan SDA, menyebabkan
berkurangnya produksi pangan yang sehat, bergizi, dan beragam, kemudian
menambahkan alasan untuk impor pangan dan terjadilah lingkaran setan
atau vicious circle.
Impor menyebabkan pemenuhan pangan di Indonesia menjadi
bergantung pada sistem pangan global yang harganya sewaktu-waktu bisa naik dan
memengaruhi kenaikan harga di tingkat nasional, membuat harga komoditas pangan
primer tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.
Lebih dari itu produsen pangan skala kecil terancam karena
produknya harus bersaing dengan produk impor di pasaran yang menjatuhkan harga
jual hasil panen mereka. Impor bahan-bahan tertentu seperti garam, gandum, dan
gula menguatkan industri pangan, termasuk industri raksasa makanan dan minuman
jadi yang menghasilkan makanan dan minuman ultraproses dengan harga yang murah.
Lebih dari itu, kebijakan impor pangan j uga semakin dimudahkan melalui
pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Permasalahan lainnya pada sisi distribusi adalah
liberalisasi model saluran pemasaran – yang dibuktikan dengan menjamurkan
industri ritel hingga ke kelurahan dan perdesaan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat dan berlanjut tergesernya kios –
kios rakyat dan pasar lokal tradisional ( territorial market). Bahkan Industri
ritel milik korporasi tersebut mencakup pangan.
Dari sisi konsumsi, menguatnya korporasi juga berdampak
pada dan bahkan mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat baik produsen
pangan maupun konsumen pangan. Preferensi terhadap makanan instan dan murah
semakin tinggi seiring dengan perubahan gaya hidup dengan beban dan durasi
kerja yang tinggi dan himpitan ekonomi yang dihadapi petani kecil, nelayan,
miskin kota dan buruh.
Tercakup dalam hal ini makanan cepat saji (fast food) milik
restoran korporasi asing seiring dengan perubahan pola gaya hidup dan pola
konsumsi. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas
menengah-atas, melainkan juga masyarakat bawah seiring dengan menjamurnya
industri retail pangan sebagaimana yang disebut pada sisi distribusi.
Makanan instan seperti mie instan, sarden kalengan, dan
bumbu-bumbu artifisial tinggi MSG, natrium, dan kandungan kimia lain menjadi
pilihan makan bagi rumah tangga-rumah tangga miskin, di antaranya masyarakat
miskin kota, para buruh, bahkan buruh industri pangan dan produsen pangan itu
sendiri, seperti buruh perkebunan sawit dan petani miskin tunakisma.
Pendapatan yang jauh dari kata layak, dibarengi dengan
ketiadaan sumber pangan subs isten, kerap membuat seorang buruh mesti berhutang
untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Siasat lainnya adalah menekan pengeluaran
untuk kebutuhan pangan atau berhemat dengan membeli makanan yang murah dan
“enak” seperti makanan instan tadi. Sementara makanan instan dan makanan cepat
saji belum tentu memenuhi kecukupan gizi dan alih-alih justru tidak menjamin
keamanan pangannya (Food Safety). Sebagai konsekuensi, muncul kelaparan
struktural berupa permasalahan kesehatan dan gizi
seperti stunting, gizi buruk, obesitas , dan penyakit-penyakit
seperti diabetes, jantung, dan stroke.
Permasalahan gizi dan kesehatan tersebut juga tidak lepas
dari panjangnya rantai pasok y ang memisahkan petani, nelayan, dan produsen
pangan skala kecil lain dengan buruh dan masyarakat miskin kota, sehingga tidak
ada titik temu antara keberlanjutan produksi dan keberlanjutan konsumsi
diantara mereka. Ketidakadaan tersebut berakibat pada harga pangan yang pada
saat tertentu berpengaruh pada ketidakterjangkauan buruh dan miskin kota
terhadap pangan. Begitu juga sebaliknya, harga pangan yang rendah menjadi
masalah bagi produsen pangan.
Dalam seluruh lini permasalahan dalam sistem
pangan, terdapat diskriminasi, marginalisasi, dan eksklusi terhadap
perempuan. Tidak ada pengakuan terhadap posisi dan peran perempuan dalam
pengelolaan pangan, baik petani maupun nelayan. Perempuan nelayan masih sulit
memperoleh kartu identitas sebagai produsen yang berpengaruh pada tidak
dipenuhinya hak-hak mereka atas kesejahteraan.
Pola pertanian yang semakin industrial juga mengurangi peran
perempuan yang vital dalam menjaga keberlanjutan pertanian. Perempuan yang
bekerja sebagai buruh dalam sektor pangan, di perkebunan sawit misalnya,
menghuni pekerjaan-pekerjaan yang berupah lebih rendah dari kerja buruh
laki-laki tetapi tetap berada dalam lingkungan kerja yang eksploitatif,
beracun, berbahaya, dan rentan kekerasan. Dalam konteks kepemilikan,
penguasaan, dan pemanfaatan sumber agraria, perempuan juga masih kerap
mengalami diskriminasi. Ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan
lahan antara perempuan dan laki-laki juga masih lebar.
Sedangkan dalam konsumsi, perempuan merupakan aktor yang
paling sering disasar oleh korporasi agribisnis untuk memasarkan produknya
dengan cara-cara yang agresif. Seperti misalnya, seorang ibu yang sering
menjadi korban promosi produk pengganti ASI seperti Formula Susu Sapi (FSS)
untuk dirinya dan bayinya yang kemudian menggantikan susu ibu itu
sendiri—sebuah pelanggaran hak atas pangan karena bayi memerlukan ASI eksklusif
bukan FSS.
Kebijakan pencegahan stunting anak dan penanganan
kurang gizi pada ibu dan perempuan di Indonesia, juga seringkali
terjebak sebatas pada pemberian makanan fortifik asi atau tablet
penambah darah yang sebenarnya merupakan keluaran dari agribisnis bersama
dengan teknologi pangan. Hal ini tidak membedah permasalahan struktural yang
bisa menyebabkan seorang perempuan kurang gizi: ketiadaan akses perempuan
terhadap sumber daya produktif, pengurangan beban berlapis yang disandang
perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan kebutuhan
pangannya tidak tercukupi.
Dengan adanya permasalahan pangan yang menunjukkan dominasi
korporasi—baik korporasi nasional ataupun multinasional (MNC)—dalam produksi,
distribusi, dan konsumsi, juga diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok
marginal lainnya, negara yang harusnya menyediakan perlindungan hukum dan
menanggulangi diskriminasi, serta ketimpangan kuasa serta akses, malahan
mengukuhkan berbagai peraturan yang memberikan kemudahan bagi korporasi dari
jaminan lahan, pasar, hingga perlindungan hukum, di antaranya melalui UU Cipta
Kerja.
0 Komentar